KARINDING DALAM NASKAH PENDAKIAN SRI AJNYANA


Catatan tertua mengenai karinding terdapat dalam naskah Sunda berjudul Pendakian Sri Ajnyana.
Naskah ini terdapat dalam buku Tiga Pesona Sunda Kuna yang ditulis oleh
J. Noorduyn dan A. Teeuw (Pustaka Jaya, 2009). Dalam naskah itu
ditulis,
Hurung subang di hulueun - Kacapi di kajuaran - Kari(n)ding dip ago sanding - Giringsing di pagulingan - Deung ka(m)puh pamarungkutan
Artinya :
Giwang bercahaya di ujung kepala - Kecapi di dekat tempat tidur - Karinding di pago sanding (palang dada) - Giringsing di atas tempat tidur - Dan selimut
Naskah “Pendakian Sri Ajnyana” (PSA)
terdiri atas 24 lempir. Tampaknya teks di dalamnya lengkap, termasuk
kolofon singkat yang ,emyatakan bahwa naskah ini ditulis pada bulan ke
delapan, di mandalan Beutung Pamaringinan (di) Cisanti. Mengenai ke dua
naskah kropak yang pada mulanya terdapat dalam koleksi Perpustakaan
Nasional di Jakarta, Noorduyn (1971:151-152) mengemukakan bahwa naskah
tersebut adalah bagian dari, “himpunan kecil yang mencakup sekitar
empat puluh naskah daun Sunda yang ditulis dengan pola suku kata yang
kini dianggap sudah usang. Sebagian di antaranya mengangkat tema agama dan sastra zaman pra-Islam. Dalam abad lalu (maksudnya abad ke sembilan belas) naskah-naskah tersebut ditemukan di desa-desa pegunungan di Jawa Barat
tempat naskah-naskah itu disimpan sebagai warisan keramat dari masa
silam. Pada waktu itu, naskah-naskah itu tidak lagi menajdi bagian dari
tradisi yang hidup karena tiada seorang pun yang dapat membacanya, apa
lagi memahami isinya. Dalam naskah-naskah tersebut digunakan dua jenis
aksara dan keduanya adalah anggota rumpun aksara yang berasal dri India,
yang digunakan di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu di
antaranya dituliskan khusus dengan tinta pada daun
nipah dan berkaitan erat dengan jenis aksara Jawa Kuna yang juga
dituliskan dengan tinta pada bahan yang sama. Jenis lainnya diterakan
pada daun lontar dan memperlihatkan banyak keistimewaannya sendiri, yang
membuktikan adanya perkembangan khas Sunda. Tahap-tahap
awal pemakaian aksara jenis ke dua ini diketahui dari beberapa prasasti
di atas batu dan lempengan tembaga.”
Aksara jenis pertama yang dirujuk Noorduyn yang oleh para peneliti terdahulu disebut dengan “aksara Jawa Kuna yang hampir
kwadrat”, disebut dengan “tipe aksara pra-nagari” oleh Darsa. Dia
menyebutkan empat naskah yang ditulis dengan menggunakan jenis aksara
tersebut (Darsa, 1997 : 14-15), pertama naskah Sunda Kuna Sang Hyang Hayu. Naskah ini diperoleh Museum Sri Baduga di Bandung dari Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya, tahun 1991 (no. 07.106), diumumkan dalam satu jilid bersama Serat Catur Bumi dengan judul Sang Hyang Raga Dewata (Tim Peneliti, 2000). Yang kedua adalah naskah tertua dalam bahasa Jawa Kuna Kuňjarakarna sebagaimana yang diumumkan pertama-tama oleh H. Kern (1922), kemudian oleh Van der Molen (1983). Naskah ke tiga adalah Serat
Catur Bumi, juga berupa teks Jawa Kuna (Tim Peneliti, 2000). Sedangkan
teks ke empat yang ditulis dengan aksara ini adalah Serat Děwabuda yang diumumkan oleh Ayatrohaědi (1988).
Jenis aksara ke dua yang dirujuh Noorduyn dimasukkan oleh Darsa
ke dalam golongan “model aksara Sunda (kuna)”; aksara ini ditemukan
dalam sejumlah prasasti (contohnya Kawali dan Batutulis), sebagaimana
halnya yang terdapat dalam naskah yang teksnya memakai bahasa Sunda
Kuna, misalnya ke tiga teks yang dimuat dalam buku ini, tapi juga dalam Sěwaka Darma (lihat Danasasmita dkk. 1987), Ratu Pakuan (lihat Atja 1970), Carita Parahyangan (lihat Darsa dan Ekajati 1995) dan sebagai contohnya yang paling mutakhir (dari awal abad ke delapan belas) adalah Carita Waruga Guru (Darsa 1997 : 16-20), beserta contoh-contoh dari nara sumber).
Mengenai titimangsa (waktu penulisan naskah),
ketiga puisi Sunda Kuna terserbut hanya ada sedikit kepastian,
mengingat ketiganya tidak mengandung kronogram atau petunjuk yang
mencolok lainnya. sebegitu jauh hanya satu naskah Sunda Kuna yang
ditelaah yang titimangsanya telah dipastikan, yaitu Sanghyang siksakanda ng karesian
yang berasal dari tahun Śaka 1440 atau 1528 M (Atja dan Danasasmita
1981a). Namun, dalam ulasannya, Noorduyn (1971:152) mengatakan bahwa
teks tersebut dalam bentuk yang kita miliki, mungkin berasal dari masa
yang lebih muda. Bagaimanapun, titimangsa di sekitar abad keenambelas Masehi tampaknya merupakan anggapan meragukan sehubungan dengan ketiga puisi kita, baik menyangkut naskahnya mau pun mengacu pada Islam (kecuali tiga, yakni kata dunia dan kertas dan nama tempat Meukah)
juga menunjukkan bahwa titimangsanya tidak lebih muda daripada abad
keenam belas. Dua di antara naskah-naskah Jawa Kuna yang disebutkan di
atas memiliki titimangsa, Serat Děwabuda suntingan Ayatrohaědi (1988) bertitimangsa Śaka 1357 atau 1435 M. ada pun teks Sang Hyang Hayu (atau Sang Hyang Raja Děwata, Tim Peneliti, 2000) diakhiri dengan kronogram panca warna catur bumi – Śaka 1455 atau 1533 M).
Naskah Sri Ajnyana isinya berhubungan juga dengan Sewaka Darma dan juga Bujangga Manik sebagaimana
yang Nampak dalam uraian Pigeaud (1967-70,III:384). Ia menyebutkan
bahwa naskah itu berisi “catatan Jawa-Bali perihal rungan keagamaan,
yaitu pelajaran yang disampaikan oleh Sidi Ajňańa kepada putranya Cita
Rasa. Nama Sidi Ajňańa menarik perhatian karena ia mengingatkan orang
kepada peran Sri Ajnyana dalam teks Sunda Kuna. Namun diperlukan kajian
terperinci untuk meninjau seluk beluk kesusastraan ini, termasuk
kepaduan dan berbagai pertautannya.Dalam bagian pendahuluan Sanghyang
Ajnyana disebut-sebut dalam hubungannya dengan keadaan nirmateri (wisěsa ni niskala) yang tak terpermanai, teks ini berbicara tentang keindahan (lemlem?) dari paleksas Sanghyang Ajnyana; para penyuntingnya menerjemahkannya menjadi “permulaan Sang Hyang Tahu”; mungkin kita harus membacanya pawekas (“wejangan”), sebagaimana baris puisi berikut ini : tutur
jati pawekasna Sang Hyang Ajnyana jati wisesa, iyana sari tutur jati,
nyana jati nu wisesa, iyana nu mawa saka ning bayu, sabda hidep hawitan
tu (bait 9); yang dapat diartikan “wejangan hakiki yang disampaikan
oleh Sang Hyang Ajnyana, hakikat tak terperi yang membawa hawa, kata,
dan pikir utama”.
Puisi Sri Ajnyana dimulai dengan sedu sedan
wanita yang menyesal karena dia berbuat dosa besar. Dia diajak bicara
oleh seseorang yang dipanggil Sri Ajnyana yang sedang berupaya melipur
laranya. Dia menjelaskan bahwa mereka harus memupus dosa (yang
tampaknya berupa hubungan seksual) dengan turun dari kahyangan ke
‘tengah dunia’ (kaintar diri ti sorga, turun ka madiapada,
40-41). Wanita itu bersedia mengikutinya ke mana pun Sri Ajnyana pergi,
tetapi dia tidak lagi dilibatkan dalam jalan cerita yang untuk
seterusnya berpusat pada Sri Ajnyana. Dengan perasaan yang amat berduka,
dia meninggalkan arasnya di kahyangan.
Turunnya tokoh utama ke bumi, yang secara
geografis bertempat di Gunung Damalung (Merbabu, Jawa Tengah) ditandai
dengan berbagai gelagat (50-57). Proses menjadi manusia ini dengan
segala hal yang tersirat di dalamnya dituturkan sedemikian kuatnya
(58-95). Dalam monolog interieur (96-155) dia mencurahkan rasa dukanya
dan mengungkapkan penyesalannya atas perbuatan pada masa lalu. Dia tahu
bahwa harus menanggung nasib yang berat, kecuali dia bisa menemukan jalan untuk membebaskan dirinya dari wujud duniawi.
Kemudian dia memutuskan untuk pergi ke pegunungan dan tiba di pertapaan, tempat ia bertemu dengan orang bijak (mahapandita 172) yang bersedia membantunya dalam keadaan menyiksa itu. Atas
pertanyan orang besar itu, mengenai sebab musabab dia datang ke
pertapaan itu, dia memohon diberi pengejaran mengenai ‘jalan keluar dari
penderitaan, untuk kembali ke yang azali (atau hakikat, jati) dan meninggalkan jagat sublunar’ (179-183). Sang bijak menjelaskan padanya bahwa manusia pada dasarnya pendosa dan dia harus menghindari segala hal yang sebenarnya sudah dia sadari; untuk menemukan pembebasan dia harus mencurahkan diri dalam laku tapa (185-220).
Setelah pengajaran selesai, tokoh utama tidak
hanya merasa tertolong; dia menggambarkan keadaan batinnya dalam
istilah-istilah yang ekstatis, ‘wejangan-wejangan itu masuk ke dalam ragaku, sejuk dan segar seperti air suci, menembus sanubariku dan menjalari pikiranku (ajnyana)’ (226-229). Ajaran sang guru ibarat ‘sebidang pekarangan yang tersapu bersih’ (243-244), metafor
untuk kejelasan dan kemurnian, yang diulangi pada bagain lain dan dara
ringan dan bahagia pada sang murid disimbolisasi dengan gemerlapnya
bebungaan yang dia lihat sehingga pikirannya terpulihkan (245-247).
Keindahan bebungaan melambangkan kebahagiaan dan keadaan pikiran
langitan di sepanjang teks. Dalam monolog panjang lainnya (248-329)
tokoh utama bertopang pada permenungan yang baru didapatkannya, yang
diungkapkan dengan istilah-istilah sepetrti ‘inti pengetahuan, masalah
mendasar tentang makna, permata kebenaran’ (281-284). Setelah menerima
‘buah’ pengajaran dari sang guru, tokoh utama siap untuk kembali ke
kahyangan.
Akhirnya utusan bernama Dewa
Laksana yang datang ke pertapaan itu dan mengundang Sri Ajnyana atas
nama dewa-dewa untuk menghadiri pertemuan di kahyangan (347-352). Mereka
pun berangkat, ’raga mereka bercahaya
bagaikan kunang-kunang’ (359). Pertama-tama mereka melewati berbagai
lapisan aras langitan, kemudian harus menyeberangi titian kencana yang
mengarahkannya ke jalan menuju langit. Akhirnya mereka memanjat tangga
kencana di istana (kadaton) Pancamirah (lima rubi, 404). Di situ para
dewa sedang mengadakan pertemuan besar.
Pokok bahasan yang dibicarakan adalah kekacauan hidup umat manusia yang tampaknya sudah tidak tertanggungkan, sebab manusia melanggar semua hukum dan aturan dan dirasuki Dewa Kala (yakni dewa kehancuran) serta kawan setannya. Kritik atas perilaku manusia itu dirumuskan secara eksplisit oleh Dewa Niskala katika ia berbicara untuk menggambarkan peran Kala yang jahat (buta Kala murka 438) bersama setan-setan yang penuh nafsu. Para dewa terganggu oleh kehidupan umat manusia yang terancam hancur.
Seusai pertemuan, tokoh utama meninjau
keadaan kahyangan (464-535); pertama-tama ia mengunjungi empat kahyangan
di empat wilayah, Timur, Selatan, Barat, dan Utara. Di Timur, Sri
Ajnyana melihat tempat berdiam Dewa Isora
(Iswara, perwujudan Siwa), yang disebut Jambudrasana, tempat tujuan
seluruh pertapa sejati (486). Kahyangan selatan disebut Brahmaloka;
kahyangan ini adalah tempat bagi ‘orang-orang melaksanakan janjinya dan
orang-orang yang membakar dupa dan kayu bakar’; rinciannya juga
disebut-sebut dalam Korawāśrama (Swellengrebel 1936 : 78-79). Kahyangan berikutnya
yang dia kunjungi tak diberi nama, tetap letaknya ada di wilayah barat,
tempat tujuan orang-orang yang memberikan bantuan amal (dana punya). Akhirnya, kahyangan utara disebut Utaraprada; inilah tempat tujuan
para pahlawan perang setelah mereka mati. Tempat ini juga dikenal
sebagai Aras Utara. Tidak ada nama dewa-dewa disebut sehubungan dengan
dua kahyangan terakhir, namun deskripsi
terperinci mengenai keempat aras menunjukkan paralelisme dasar, dengan
sejumlah variasi, yaitu keempatnya memiliki bentuk měru, tetapi
mengandung perbedaan sehubungan dengan bahan-bahan yang digunakan,
sejmlah besar kain, permata, ukiran menghiasi bangunan itu.
Setelah melewati tempat itu Sri Ajnyana menyusuri ‘jalan raya yang lurus’ ke langit kencana, yang disebut sorga kancana dan bumi kancana
(538-539). Jalan yang dibatasi barisan pepohonan dan perdu (540-548)
dan melintasi bebatuan, danau-danau serta tebing-tebing,
jembatan-jembatan, dari satu tangga ke lain tangga, itu baru saja disapu
dan bekas sapuannya masih terlihat (556-558). Wewangian semerbak di
sepanjang jalan, yang menarik para pengembara pada rupa-rupa bunga
(565-593) yang di dalamnya disebutkan lebih dari tiga puluh lima nama tetumbuhan. Setelah Sri Ajnyana naik ke langit kencana, dia menggambarkan
seluruh keindahan itu, dan sekali lagi menyebutkan banyak nama bunga
(602-615). Jenis dan manfaat wewangian yang menyedapkan itu diperinci
(616-625), tidak mengherankan jika bunga-bunga tersebut dan aromanya
memikat segala jenis kumbang dan tawon yang berdengung-dengung sehingga
menciptakan alunan suara beragam alat musik (625-645).
Setelah tiba di gedung kencana selutuh kata
dikerahkan oleh tokoh utama untuk menggambarkan suasana yang cerlang
cemerlang itu : tidak kurang dari lima belas perumpamaan digunakan untuk mengungkapkan suasana itu (648-663). Tak pelak lagi kenangannya kembali ke masa lalu tatkala ia dikeluarkan dari kahyangan ini tempat sebelumnya ia hidup sedemikian bahagianya; dan seraya
menitikkan air mata dia naik ke gedung kencana (682-683). Di situ ia
bertemu dengan Puah Aci Kuning yang mengenakan busana indah. Wanita itu
menyambutnya dengan ramah, menanyakan kabarnya dan alasan kekhawatiran
serta bertanya adalah orang yang ingin ditemui Sri Ajnyana (710).
Dia bertanya masihkan Puah Aci Kembang tinggal di kahyangan, namun ia diberitahu jika wanta itu menghilang
ke bumi dan tidak kembali. Dia pun diingatkan agar tidak memperhatikan
wanita itu. dia harus bergabung dengan para penghuni langit. Puah Aci
Kuning mempersilahkan Sri Ajnyana masuk dan duduk di dekatnya, sebab ada
yang ingin ia sampaikan. Sri Ajnyana menolak karena ‘jangan-jangan ini
akan menimbulkan akibat buruk’ (746-747). Namun wanita itu mengingatkan
bahwa Sri Ajnyana tidak perlu khawatir. Sekali lagi, wanita itu
mengingatkan bahwa Sri Ajnyana jangan sampai dirintangi sosok cantik di
langit (754-764). Wanita itu pun bertanya kepada Sri Ajnyana mengapa
umat manusia di jagat tengah begitu lalai menjalankan perintah agama,
sampai-sampai tidak ada lagi orang yang mencapai kahyangan. Mereka semua
diliputi dosa, membiarkan diri mereka terbuai oleh segala yang
memperdaya dan tidak mau dijauhkan dari kekejian (766-786).
Kemudian Puah Aci Kuning membimbingnya ke
gedung kencana; keindahan di dalamnya digambarkan dengan rincian yang
bahkan lebih besar lagi jika dibandingkan dengan deskripsi sebelumnya
mengenai keempat wilayah kahyangan itu (790-837). Ketika Puah Aci Kuning
memintanya lagi untuk duduk di dekatnya di atas dipan, tapi Sri Ajnyana
lagi-lagi menolak karena khawatir denga akibatnya. Wanita itu berkata
bahwa ia hanya bermaksud menguji keteguhan moral Sri Ajnyana (860-861)
yang telah menunaikan tugas dan janjinya akan selamanya beroleh pikiran
jernih, sehingga niscaya dia akan kembali ke kahyangan. Puah Aci Kuning
sendiri ingin menjadi teguh dalam penolakannya terhadap hasrat-hasrat
duniawi (tunggal nitresna 883). Kemudian dia menasihati kembali
Sri Ajnyana bahwa kejahatan melekat pada sifat dasar manusia dan hanya
dengan mengikuti ajaran yang dapat membebaskan diri dari ketidaksucian
dia dapat menghindari neraka dan menikmati berkah sunyi pikir (ajnyana sunia 904).
Di gerbang gedung kencana sang Puah inilah Sri Ajnyana melihat
karinding, kacapi, giwang, dan selimut. Karinding terselip di dinding
palang dada gedung kencana.
Sri Ajnyana kemudian beranjak dari situ, pergi melintasi berbagai kahyangan; dia melintasi keempat jagat (caturloka 919), kemudian jagat Meukah yang merupakan kahyangan Siak (buana Meukah
920). Dari situ dia sampai di kahyangan suci (sanghiang) Lengis. Nama
beberapa penghuni jagat disebutkan : Manondari, istri Rawana tinggal di
situ bersama Nilasita, istri Sugriwa yang suci, yang padanya kita
mengenali Sugriwa, yakni tokoh lain yang secara menonjol hadir dalam
cerita Rama Sunda Kuna. Kahyangan berikutnya disebut Sangkan Hěrang,
mahligai Sanghiang Sri, yakni ‘perwujudan segala hal yang berkaitan
dengan bumi (atau bersifat kebumian)’ (ngawakan kapretiwian
933). Setelah melewati tempat ini Sri Ajnyana tiba di Sari Dewata, yang
tak dikenal sebagai nama langitan atau toponimi lain. nama penghuni
tempat itu Wiru Mananggay, muncul dalam berbagai teks Sunda Kuna di
Tatar Sunda masih dikenali sebagai ama dewi (pohaci, lihat Coolsma 1930 dan wiru sumanggay’
sesaji untuk dewi padi pada permulaan awal musim panen’, lihat Eringa
1984 : 842). Inilah mahligai wanita pertapa yang hidup selibat.
Selanjutnya, ia tiba di Manarawang; nama ini terbentuk dari tarawang
(artinya terang, terbuka, tembus pandang); penghuninya adalah Sanghiang
Sri dan dewi Satiawati (Satyawati), tokoh yang disebutkan secara
sukarela ikut mati bersama suaminya Salya di medan laga Mahabharata,
atau Bharatayuda (běla). Inilah kahyangan untuk para wanita yang melakukan běla.
Setelah meninggalkan tempat-tempat di
kahyangan itu, Sri Ajnyana melalui Budi Keling dan Rahina sada tiba di
rahna Wengi (950-956). Nama Rahina Sada, ‘Siang Abadi”, sebelumnya
muncul dalam bentuk perumpamaan (316). Di Rahina Wengi (‘Siang dan
Malam’) di berjumpa dengan Puah Lakawati, yang memanggil Sri Ajnyana
dengan nama ‘sang Atma Wisěsa’ (‘ruh terunggul’). Wanita itu
menyambutnya dan menanyakan maksud kedatangannya. Ketika sang tamu
bertanya tentang Puah Aci Kembang, ia mendapatkan jawaban yang sama
dengan yang sebelumnya dia dapatkan di kahyangan, yang sebagian besar
dengan kata-kata serupa (976-1004) : wanita itu sudah meninggalkan
kahyangan, dia tidak perlu diperhatikan; Sri Ajnyana tidak perlu lagi terpesona olehnya dan harus ingat bahwa ‘tidak ada penderitaan seberat menjadi manusia’ (1004). Puah Lakawati mengulangi
wejangan yang sebelunya diterima Sri Ajnyana (1006-1061). Sri Ajnyana
mesti menghindari segala pesona beragam bentuk keindahan dan kesenangan
duniawi. Hanya dengan mengendalikan raga dan menahan segala hasrat dia
akan merasa nyaman dan ringan; itulah yang dimaksud denga terbebas dari
ketidaksempurnaan. Sri Ajnyana harus mengikuti ’lima cara suci’ (sanghiang pancamerga) untuk mendalami ‘rahasia bertapa’ (sandi tapa) dan mencari ‘inti pengetahuan’ (sari ning ajnyana)
(1036-1038). Kemudian dia akan menemukan ‘langit tertinggi’ dan pada
akhirnya ‘kembali ke azali’ serta mencapai ‘inti ketiadaan’ (jati tan hana 1057).
Setelah itu Atma Wisěsa sebagaimana kini ia
disebut oleh pencerita pula, beranjak dari kahyangan dan turun ke jagat
tengah untuk enuju ke pertapaan Mandala Singkal; di sini ia bertapa
sehubungan dengan ajaran-ajaran yang telah ia dapatkan dari Puah Aci
Kuning, Lakawati, Wiru Mananggay, singkatnya seluruh ajaran dari
sosok-sosok langitan (1070-1083). Teks ini dipungkas dengan cara menjelaskan bahwa tiba-tiba seluruh dewa turun ke bumi untuk menjadi manusia, bergabung dengan manusia dan berdiam di jagat tengah, yakni ‘Putera Bumi’ (nya puah tanah dunia 1087).
Setelah naskah Pendakian Sri Ajnyana, penulis
belum lagi menemukan naskah lain yang menyebutkan karinding. Beberapa
keterangan mengenai karinding terungkap melalui cerita lisan yang
tersebar di seluruh Priangan dalam kisah yang berbeda-beda.
source:kelaskarinding.tumblr.com
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل